Intisari :
Konservasi
adalah upaya untuk melindungi, mengawetkan, dan melestarikan sumberdaya alam
yang meliputi spesies, genetik, popolasi habitat dan ekosistem. Prakonservasi
perlu dilakukan monitoring atau survey untuk menilai permasalahan yang terkait
dengan ancaman keberlanjutan sumberdaya
yakni melalui penilaian indikator ekologi untuk mendeteksi perubahan
lingkungan, penentuan status berdasarkan atribut ekologi, akurasi metode yang
digunakan, dan harus memiliki tujuan yang jelas
pengakuan skala spasial dan temporal, penialaian variabel statistik,
presisi dan akurasi, menilai ancaman stres, yang masih berhubungan dengan
indikator ekonomi dan sosial. Peran ekologi genetika diharapkan dapat
menyelesaikan masalah silsila untuk populasi intrinsik, spesies sebagai
indikator ekologi karena spesies dapat mengubah habitat untuk kebutuhan mereka
sendiri namun juga dapat mempengaruhi habitat dan peluang spesies lainnya,
spesies juga memainkan peran penting dalam transfer materi dan energi di dalam
tingkatan tropik, ikan juga dapat digunakan sebagai indikator ekologi karena distribusi dan penyebaran suatu jenis ikan berkaitan erat
dengan faktor lingkungan, selain itu faktor lingkungan juga dapat merangsang
terjadinya perubahan metabolisme dan respon fiisiologis dalam tubuh ikan seperti
sekresi kelenjar hormon, serta indikator lainnya yang biasa digunakan untuk
menilai status ekosistem adalah makroinvertebrata yang dapat menggambarkan
kualitas air karena mampu bertahan pada kondisi perairan yang tercemar
sekalipun, selain itu makroinvertebtara juga sebagai biofilter yang baik, serta
dapat mendaur bahan organik.
PENDAHUAN
Indikator
ekologi adalah suatu proses persipan desain yang meliputi situs pengambilan
sampel lapang secara spasial dan teporal, protokol laboratorium, rencana
lanjutan, desain survey yang sesuai, motode yang konsistem, untuk menggambarkan
status dan melacak perubahan, berdasarkan kepentingan atribut ekologi yang
dipilih (Olsen and Peck, 2008 dalam
EPA, 2010). Penilaian variabei kompenon ekosisten yang meliputi komponen fisik
atau biologi memiliki efek terhadap komponen lain dari ekosistem. Indikator
ekologi yang biasa digunakan dalam penentuan status dari ekosisitem adalah tutupan
karang keras, yang merupakan indikator kesehatan bagi terumbu karang karena
banyak organisme lain yang bergantung pada karang keras untuk kelangsungan
hidupnya, predator atau penyakit karena predator atau penyakit dapat mengurang
tutupan karang (Hill dan Wilkilson, 2004).
Indikator
ekologi memiliki daya tarik bagi para ilmuan, manajer lingkungan, dan masyarakat
umum. Indikator ini sejak lama digunakan
untuk mendeteksi perubahan alam, indikator utama yang digunakan dalam menilai
kondisi lingkungan sebagai sinyal peringatan dini masalah ekologi dan sebagai
barometer untuk tren sumberdaya ekologi. Penggunaan indikator ekologi harus
memiliki tujuan jelas yang menyatakan, pengakuan skala spasial dan temporal,
penilaian variabelitas statistik, presisi dan akurasi, hubungan dengan stres
tertentu, yang masih berhungan dengan indikator ekonomi dan sosial. Indikator
ekologi diatrur secara legislatif oleh banyak negara di dunia, termasuk dalam
perjanjian internasional. Kemajuan ilmiah dan inovasi pengembangan indikator
ekologi melalui barbagai aplikasi diantaranya adalah biologi molekuler, teknologi komputer seperti sistem informasi geografis, manajemen data seperti bioinformatika,
dan penginderaan jauh, kemampuan kita untuk menerapkan indikator ekologi untuk
mendeteksi sinyal dari perubahan lingkungan akan ditingkatkan secara substansial (Niemi
dan McDonald, 2004).
Menurut
Dale et al, (2012) pertimbangan keberlanjutan suatu kegiatan
mempengaruhi aspek ekonomi,
sosial, dan lingkungan secara lokal dan global. Adopsi prkatek pengelolaan
sumberdaya harus mengacu pada defenisi dari aspek keberlanjuttan, mengembangkan
indikator yang mudah diukur, bergerak menuju sistem keterpaduan, dan menawarkan
intsentif atau menerapkan aturan untuk mempengaruhi kegiatan tersebut. Ekologi
kawasan baik habitat dalam ekosistem merupakan informasi dalam pertimbangan
keberlanjutan karena memberikan metode dan teori untuk menangani hetrogenitas
spasial, skla, integrasi, dan kompleksitas. Berdasarkan permasalahan indikator
ekologi, maka Dale et al, (2012) mengusulkan beberapa pertimbangan yang perlu
mendapat diperhatikan lebih lanjut pada skala lokal dan regional meliputi : (1)
protokol dalam mengukur bahan dan aliran energi (2) spesifikasi standar untuk
praktek manajemen dan sesuai dengan pengeruhnya (3) insentif dan disentif untuk meningkatkan
kondisi lingkungan, ekonomi, dan sosial (keuangan, peraturan, motivasi prilaku, dan lainnya) (4)
Perencanaan kawasan terpadu dan manajemen (5) pantauan dan penilaian (6)
integrasi kebijakan untuk mempromosikan keberlanjutan kegiatan konservasi.
Naeem et al (2002) mengusulkan dalam menilai
kelas keanekaragaman hayati berdasarkan tiga fungsi ekosistem, yaitu: (1)
Kelimpahan spesies memiliki fungsi yang sama, dan hilangnya satu spesies dapat
diimbangi oleh spesies lain, sehingga penambahan spesies mungkin tidak
perdampak seberapa baiknya fungsi
ekosistem; (2) Spesies pada dasarnya adalah tunggal, membuat kontribusi yang
unik untuk fungsi ekosistem; (3) Kelebihan dan kekurangan dari suatu spesies
memiliki dampak terukur dari fungsi ekosistem; dan dampak spesies yang tergantung pada konteks. Dalam hal
ini, dampak dari kerugian atau keuntungan dari spesies pada fungsi ekosistem
yang istimewa dan tak terduga. Apa yang terjadi akan tergantung pada kondisi
lokal di mana kepunahan spesies atau penambahan terjadi.
Permasalahan dan bentuk ancaman yang sangat serius terhadap sektor
perikanan dan kelautan, yang terkait dengan kelestarian sumberdaya hayati laut
sebagai masalah utama dalam pengelolaan dan pengembangan konservasi perairan
antara lain: (1) pemanfaatan berlebih terhadap sumber daya hayati, (2)
penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, (3)
perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) pencemaran, (5) introduksi spesies
asing, (6) konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya dan
(7) perubahan iklim global serta bencana alam (Dermawan et al, 2008).
Konservasi
keanekaragaman hayati merupakan tujuan utama dalam konservasi alam, akan
tetapi untuk mengukur
keanekaragaman hayati total dari sebuah wilayah adalah tidak memungkinkan, sehingga perlu ada indikator untuk mewakili keanekaragaman hayati. Indikator
spesies digukanakan untuk menilai besarnya gangguan antropogenik, untuk
memantau tren popolasi spesies lain, terutama pada daerah yang memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi (Heink
dan Kowarik 2010; Caro dan O’Deherty 1998).
Konservasi
ekosistem dilakukan dalam rangka menjamin habitat hidup sumberdaya agar terjaga
kelestariannya, baik pada area pemijahan, area asuhan, area mencari makanan
juga pada jalur ruaya baik pada perairan laut, payau maupun tawar. Beberapa
ekosistem yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya ikan adalah laut, padang
lamun, terumbu karang, mangrove, estuari, pantai, sungai, danau, waduk, rawa,
embung dan ekosistem buatan lainnya. Sementara itu konservasi jenis ikan dan
konservasi genetik ikan adalah untuk melindungi jenis ikan dan genetik ikan
yang terancam punah, ataupun yang sudah langkah, yang selnjutnya untuk menjamin
keanekaragaman hayati, sehingga keseimbangan populasi atau spesies ikan yang
tetap terjaga dan pengelolaan perikanan dapat tercapai (Haryani, et al, 2008).
PEMBAHASAN
Konservasi sumberdaya
perikanan didefinisikan sebagai kawasan perairan tertentu, baik air tawar,
payau maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung
atau berkembang biak jenis sumberdaya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai
daerah perlindungan. Sarnita et al,
2000 dalam Kartamiharja et al, (2010)
mengklasifikasikan kawasan konservasi sumberdaya perikanan di perairan umum
daratan atas empat golongan yaitu : kawasan produksi ikan, kawasan plasma
nutfah ikan, kawasan wisata/budaya perikanan dan kawasan ilmu pengetahuan
perikanan. Untuk keperluan pengembangan perikanan tangkap, pengembangan kawasan
produksi ikan merupakan salah satu pilihan yang harus dilakukan. Hogarth et al 2000 dalam Kartamiharja et al
(2010) mendefinisikan kawasan produksi ikan sebagai kawasan perairan yang
dibatasi oleh batas-batas yang jelas, dengan seperangkat peraturan teknis
tertentu yang dimaksudkan untuk melestarikan atau meningkatkan hasil potensial
ikan yang tersedia sebagai stok ikan alami untuk dimanfaatkan oleh masyarakat.
Beberapa kriteria
ekologis dalam menetapkan kawasan produksi ikan agar kawasan tersebut berfungsi
efektif adalah sebagai berikut :
a.
Harus memenuhi kriteria limnologis yang
sesuai sebagai habitat pemijahan, asuhan, dan mencari makanan.
b.
Mempunyai konektivitas ekologis atau
saluran penghubung dengan kawasan penangkapan di sekitarnya.
c.
Terdapat pembagian zona yang meliputi,
zona inti, penyangga dan zona ekonomi.
d.
Ada regulasi sebagai perangkat
pengelolaan sumberdaya ikan yang dapat berasal dari kearifan lokal dan
ditetapkan secara formal oleh pemerintah.
e.
Dilakukan monitoring dan evaluasi
terhadap aspek biologi reproduksi ikan dan aspek limnologis kawasan untuk
adaptasi pengelolaannya.
Indikator ekologi mencerminkan suatu perubahan yang terjadi pada berbagai
tingkat dalam hirarki ekologi, dimulai dari tingkat gen hingga spesies dan
akhirnya ke seluruh ekosistem dan kawasan
(Noon et al. 1999).
Tabel 1. Contoh komponen dan
indikator ekologi
Hirarki
|
Proses
|
Saran Indikator
|
Organisme
|
Keracunan Lingkungan hidup
Mutagenesis
|
Perubahan bentuk fisik
Luka
Muatan parasit
|
Spesies
|
Rentang perluasan atau penyusutan
Kepunahan
|
Rentang ukuran
Jumlah populasi
|
Populasi
|
Fluktuasi kelimpahan
Kolonisasi atau kepunahan
|
Umur atau stuktur ukuran
Penyebaran perilaku
|
Ekosistem
|
Pengecualian kompetitif
Pemangsaan atau Parasitisme
Aliran energy
|
Kekayaan spesies
Kemerataan spesies
Jumlah tingkatan tropik
|
Bentang alam
|
Gangguan
Suksesi
|
Fragmentasi
Distribusi spasial komunitas
Persistensi habitat
|
Indikator genetik
sebagai indikator ekologi
Nilai
akhir genetika dalam ekologi bukanlah subjek kesepakatan bersama, tetapi
merupakan hasil dari penelitian genetik, ketika dihubungkan dengan studi
lapangan, dapat menghasilkan sesuatu yang kuat dan relevan untuk konservasi.
Tujuan utama dari ekologi genetika adalah untuk menyelesaikan hubungan dari
silsilah keluarga untuk populasi intraspesifik. Dengan lokus nuklir
hipervariabel, peneliti dapat menentukan pilihan pasangan, perilaku reproduksi,
silsilah, dan struktur sosial. Upaya ini membutuhkan waktu berbulan-bulan di
laboratorium, namun menghasilkan informasi yang bisa memerlukan setahun studi lapangan.
Survei genetik populasi DNA organellar
dan nuklir adalah alat yang akurat untuk menyelesaikan unit pengelolaan biota
di alam bebas dan konektivitas ekosistem proksimat. Semua informasi sejarah
alam memilikiaplikasi dalam konservasi (Moritz 1994; Joseph et al. 1995; Avise 1996, Schneider et al. 1998; dalam Bowen 1999).
Peranevolusi
genetikadalam konservasi diawali dengan tujuan melestarikan keanekaragaman
genetik yang benar-benar mempengaruhi proses evolusi dan memungkinkan adaptasi
terhadap perubahan kondisi. Kuantitatif genetik atampaknya memiliki peran yang semakin penting.
Banyak keanekaragaman genetik yang diamati dalam populasi tanaman danhewanliar
mungkintidak relevan dengan proses evolusi, oleh karena
itutidak relevan dengan konservasi proses evolusi. Namun,
tujuan umumnya adalah melestarikan keragaman genetik yang berkurang (Storfer
1996; Lynch 1996).
Mutasi pada perkembangan
operon dan pengaturan katalis penting dalam evolusi. Transposon dapat memasukkan diri di lokasi dalam
genom yang akan mengubah ekspresi lokus yang berdekatan (McDonald 1990; dalam Bowen,
1999). Perubahan struktur protein melalui
mutasi dapat mengganggu pengakuan gamet (Palumbi 1994;
Swanson and Vacquier 1998 dalam
Bowen 1999). Kelas perubahan genom mungkin memungkinkan pengembangan
baru dan evolusi spesies baru (Krieber &Rose1986 dalam Bowen 1999).
Perkembangan terkini 'genom' terus mengungkap
berbagai kromosom eukariotik, ada kemungkinan bahwa bidang
evolusi molekuler akan mengambil langkah-langkah kuantum dalam mengidentifikasi
unsur-unsur genetik yang mempengaruhi evolusi organisme. Penemuan dapat diharapkan untuk memberikan kriteria mengidentifikasi garis
keturunan evolusi geminate sebagai sarana melestarikan dan menghasilkan keanekaragaman
hayati mendatang.
Spesies sebagai indikator ekologi
Spesies
menjadi salah satu elemen yang menjadi indikator ekologi dalam konservasi.
Spesies indikator sendiri merupakan salah satu dari beberapa kriteria dari
spesies fokal yaitu spesies yang mendorong dibentuknya suatu kawasan konservasi
(Noss et al. 1999). Adapun beberapa
kriteria dari spesies fokal, adalah:
Spesies
indikator adalah spesies yang statusnya menunjukkan fungsi dari status kelompok
yang lebih besar dari spesies dan mencerminkan status kunci dari suatu habitat,
atau bertindak sebagai peringatan dini untuk mengantisipasi suatu tekanan
lingkungan (misalnya populasi rusa ekor putih (Odocoileus virginianus)
yang menunjukkan ketersediaan hutan padang rumput yang terbatas).
Spesies kunci (keystone spesies) memiliki efek lebih
besar pada satu atau lebih proses ekologi daripada kelimpahan atau biomassa
yang diperkirakan (misalnya burung pelatuk merah (Picoides borealis)
menciptakan rongga di pohon hidup yang memberikan perlindungan bagi 23 spesies
lainnya (Dennis, 1971 dalam Dale dan Beyeler , 2001).
Ecological engineers yaitu spesies
yang mengubah habitat untuk kebutuhan mereka sendiri namun juga dapat
mempengaruhi habitat dan peluang spesies lainnya (seperti kura-kura gopher (G.
Polyphemus) menggali liang yang digunakan juga oleh banyak spesies lain).
Umbrella
spesies (spesies payung) memiliki
persyaratan habitat yang luas atau menggunakan beberapa habitat yang juga
merupakan habitat dari banyak spesies lainnya (misalnya burung hantu tutul
utara (Strix occidentalis caurina) yang menempati seluruh areal hutan).
Link
Spesies memainkan peran penting dalam
transfer materi dan energi di dalam tingkatan tropik atau menyediakan link
penting untuk transfer energi dalam jejaring makanan yang kompleks. Misalnya,
anjing padang rumput (Cynomys spp.) yang hidup pada ekosistem padang
rumput mengkonversi produktivitas tanaman utama menjadi biomassa hewan yang
pada gilirannya akan mendukung komunitas predator yang beragam.
Ikan
Ikan
sebagai salah satu komponen penyusun ekosistem akuatik, merupakan salah satu
organisme yang rentan terhadap perubahan lingkungan terutama yang diakibatkan
oleh aktivitas antropogenik baik langsung maupun tidak langsung yang
menyebabkan rusaknya habitat sehingga akhirnya akan mempengaruhi distribusi dan
penyebaran ikan di suatu perairan. Ikan adalah salah satu indikator dalam
biomonitoring sungai, yang dapat digunakan secara terpisah ataupun contemporaneously.
Distribusi
ekologis ikan adalah penyebaran suatu jenis ikan yang berkaitan erat dengan
faktor lingkungan. Distribusi ekologis ikan umumnya sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor lingkungan, diantaranya suhu (temperatur), kedalaman, cahaya,
pH, oksigen terlarut, musim, serta faktor ketersediaan makanan di perairan,
maupun tingkat kompetisi dan predasi. Distribusi ikan ditandai dengan adanya
perubahan komposisi di tiap-tiap lokasi sebagai akibat dari faktor lingkungan
tersebut (Bhukaswan, 1980). Selain mempengaruhi distribusi ekologis ikan,
faktor lingkungan juga dapat merangsang terjadinya perubahan metabolisme dan
respon fiisiologis dalam tubuh ikan seperti sekresi kelenjar hormon.
Komunitas
ikan sebagai bagian komponen penyusun ekosistem sungai telah sejak lama
digunakan sebagai bioindikator untuk memantau kesehatan ekosistem sungai dalam
jangka waktu yang lama (Alonso et al. 2011). Dalam jejaring makanan di
perairan ikan menempati bagian atas rantai makanan, dan juga dimanfaatkan untuk
konsumsi manusia, sehingga dianggap berperan penting untuk menilai kondisi ikan
yang terkontaminasi bahan pencemar (Barbour et al. 1999). Karena siklus
hidup yang relatif panjang dan mobilitas aktif, ikan dapat menjadi indikator
yang baik dalam jangka panjang (beberapa tahun) untuk melihat efek dan kondisi
habitat yang luas (Barbour et al.
1999). Selain itu, dengan berbagai trofik level, termasuk tingkat tertinggi
yang ditempati oleh top predator, sruktur komunitas ikan dapat mencerminkan
kesehatan lingkungan perairan secara terpadu (Li et al. 2010).
Komunitas
ikan mampu merespon secara signifikan hampir semua jenis gangguan antropogenik,
termasuk eutrofikasi, acidifition, pencemaran kimia, arus, perubahan
fisik habitat akibat eksploitasi, aktivitas antropogenik, dan introduksi
spesies baru ke perairan. Dengan demikian ikan dapat memprediksi perubahan
lingkungan perairan (Barbour et al.
1999). Kepekaan ikan terhadap kualitas lingkungan perairan menjadi dasar untuk
menjadikannya sebagai bioindikator dan biomonitoring untuk memantau kerusakan
lingkungan (Li et al. 2010).
Makroinvertebrata
bentik
Kelompok utama invertebrata yang menyusun
ekosistem perairan sungai (lotik) mencakup tiga filum besar: (1) Annelida
(cacing), (2) Mollusca (Siput, kerang, dan remis) yang paling melimpah
dan beragam, dan (3) Arthropoda (krustasea dan serangga) yang mendominasi
bagian hulu, dan akan berlimpah di sepanjang aliran sungai. Oligochaeta adalah
kelas dari filum annelida yang paling melimpah dan beragam serta terkenal mampu
hidup pada lingkungan rendah oksigen. Kerang (bivalvia) merupakan kelas dari
filum Mollusca yang sangat sensitif terhadap perubahan kualitas air, sehingga
sering digunakan sebagai indikator kesehatan ekosistem sungai di seluruh dunia
(Wilzbach and Cummins 2008).
Secara
umum komunitas makroinvertebrata bentik di kebanyakan badan perairan tawar
terwakili oleh tiga kelompok besar yakni: larva chironomid, olighochaeta dan
moluska. Oligochaeta dan moluska secara permanen hidup di dasar, sedangkan
chironomid, ketika dalam tahap larva insekta hanya menghabiskan sebagian dari
siklus hidupnya di dasar perairan. Banyak spesies dari kelompok ini merupakan
manifestasi respon langsung pada keberadaan dari berbagai polutan yang berbeda
di dalam massa air dan sedimen dasar, hal ini menjadikannya sebagai indikator
tingkat pencemaran suatu perairan (Nazarova et al. 2004).
Perubahan
kualitas air akan mempengaruhi makroinvertebrata bentik baik komposisi maupun
besar populasinya di perairan. Ada beberapa jenis organisme yang mempunyai daya
tahan tinggi terhadap kualitas air yang jelek, sehingga organisme tersebut
dapat dipakai sebagai penentu kualitas air suatu perairan (Li et al. 2010). Makroinvertebrata bentik di perairan sungai memiliki
peran penting karena kemampuannya mendaur ulang bahan-bahan organik, seperti
limbah rumah tangga, pertanian dan perikanan serta sisa-sisa organisme mati
yang berasal dari perairan diatasnya atau dari sumber lain. Selain itu juga
sebagai komponen penting mata rantai kedua dan ketiga dalam rantai makanan
komunitas akuatik (Odum 1971). Dalam posisi trophic level di perairan sungai,
makroinvertebrata bentik berperanan dalam pengolahan detritus dan bahan organik
yang terakumulasi di dasar perairan. Selain itu, mereka bertindak sebagai
materi makanan untuk jenjang trofik yang lebih tinggi (Wilzbach and Cummins
2008).
Banyak
negara memiliki sejarah panjang menggunakan makroinvertebrata untuk memantau
status ekologi sungai ekosistem. Makroinvertebrata bentik merupakan komponen
kunci dari jejaring makanan di perairan yang menghubungkan bahan organik dan
sumber nutrisi (misalnya, serasah, alga dan detritus) dengan tingkat trofik
yang lebih tinggi (Wallace and Webster 1996 dalam
Li et al. 2010). Bioindikator untuk
menilai kualitas air berdasar pada makroinvertebrata menawarkan keuntungan
lebih daripada penggunaan organisme lain. Komunitas makroinvertebrata cenderung
mempunyai keanekaragaman lebih besar dibanding ikan atau komunitas biotik lain
di dalam sungai yang sama, yang membuat evaluasi dengan beberapa metrik keanekaragaman
komunitas lebih berarti. Makroinvertebrata relatif menetap, mudah untuk
dikumpulkan, dan peka terhadap gangguan manusia. Sebagai tambahan, relatif peka
atau toleran dari banyak makrozoobenthos yang sudah dikenal. Pada umumnya
mereka menyediakan pendekatan sederhana untuk memahami dan mengukur kesehatan
sungai dalam rangka mengevaluasi keseluruhan integritas ekologis dari sistem
perairan (Chakrabarty and Das 2006).
ODNR
(1993) mengelompokkan makroinvertebrata bentik ke dalam tiga kelompok berdasarkan
toleransinya terhadap pencemaran perairan. Ketiga kelompok tersebut adalah (1)
kelompok organisme intoleran terhadap pencemaran. Mereka pada umumnya dominan
pada kualitas air bagus. (2) kelompok organisme yang dapat hidup pada kisaran
luas dari kondisi kualitas air, (3) kelompok organisme toleran terhadap
pencemaran. Mereka pada umumnya mendominansi pada kondisi kualitas air jelek.
Struktur
komunitas makroinvertebrata yang sering berubah merupakan respon terhadap
gangguan lingkungan yang dapat memprediksi kondisi perairan dan dapat dijadikan
sebagai dasar pengembangan biokriteria untuk mengevaluasi pengaruh antropogenik
(Li et al. 2010). Respon
makroinvertebrata terhadap perubahan lingkungan dapat terlihat dari indeks
keragaman yang menurun, dominasi oleh spesies oportunistik yang menurun
(misalnya siklus hidup lebih pendek, lebih cepat bereproduksi) dan ukuran
individu dari spesies yang dominan menjadi berkurang. Sebagai contoh, di sungai
dan sungai tercemar oleh bahan organik atau logam berat kekayaan spesies dan
keanekaragaman dari komunitas makroinvertebrata menjadi berkurang sebagai
dampak dari pencemaran.
Fragmentasi Habitat
Fragmentasi
habitat juga harus dihindari atau diminimalkan pada derah yang memiliki nilai
konservasi. Fragmentasi habitat biasanya disebabkan oleh pembangunan koridor
jalan yang sering membentuk penghalang fisik untuk penyebaran dan proses
rekolonisasi invertebrata dan menyebabkan kematian langsung individu baik
selama pembersihan lokasi dan selama tahap oprasional proyek berjalan (Cawley
et al, 2005).
Luasnya area yang akan disurvei harus didasarkan terutama pada zona
pengaruh di mana dampak yang terkait dengan pembangunan jalan dan operasi
diantisipasi, termasuk efek hidrologi remote pada habitat lembab pada spesies
cenderung bergantung. Selain itu, karena sifat linear dari pembangunan jalan
dapat mengakibatkan efek fragmentasi habitat signifikan, pertimbangan juga
harus diberikan dengan jarak yang lebih dari spesies dapat bubar dan menjajah
dan setiap kemungkinan 'hambatan' efek yang mungkin timbul selama dan setelah
konstruksi. Selanjutnya, karena sifat kadang fana mereka sub-populasi,
ketidakhadiran mereka dari situs lain yang cocok di sekitar populasi yang ada
pada tahun tertentu tidak bisa memerintah-out penggunaan daerah di musim
berikutnya. Sebagai habitat tersebut, cocok tetapi saat ini kosong dekat
populasi yang ada juga harus dipertimbangkan nilai, karena ini habitat mungkin
penting untuk kelangsungan hidup jangka panjang dari populasi
(Cawley et al, 2005).
KESIMPUALAN
Indikator
ekologi sanngat berperan penting dalam menunjang sukses tidaknya kegiatan
konservasi. Kesalahan dalam penentuan penilain indikator ekologi maka akan
berpegaruh pula terhadap kelemahan dalam menentukan strategi konservasi yang
tepat. Penelaian indikator ekologi diharapakan dapat mewakili semua
komponen-komponen yang saling terkait mempengaruhi semua tingkatan diantaranya
dalah : spesies sebagai indikator adalah
sepesies yang dianggap rentan atau hampir punah, indikator genetik dapat
diharapakan dapat menyelesaikan unit biota di alam bebas dan konektifitas
ekosistem proksimat, populasi, habiat tempat atau ruang yang di tempati oleh
spesies tertentu, sehingga pertimbangan damapak dari suatu kegiatan pada saat
pembersihan atau pada saat operasional dapat menimbukan fragmentasi yang
mengakibatkan kematian spesies tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Alonso C, DG de Jalón, M Marchamalo. 2011. Fish Communities
as Indicators of Biological Conditions of Rivers: Methods for Reference
Conditions. Ambientalia SPI.
Barbour MT, J Gerritsen, BD Snyder, JB Stribling. 1999. Rapid
Bioassessment Protocols for Use in Streams and Wadeable Rivers: Periphyton,
Benthic Macroinvertebrates and Fish, Second Edition. EPA 841-B-99-002. U.S.
Environmental Protection Agency; Office of Water; Washington, D.C.
Bhukaswan T. 1980. Management of Asian Reservoirs Fisheries.
FAO Fisheries Technical Paper 207. 69 pp.
Chakrabarty D, Das SK. 2006. Alteration of macroinvertebrate community in tropical lentic systems in
context of sediment redox potential and organic pollution. Biological
Rhythm Research 37: 213 – 222
Caro TM, O’Doherty G.
1999. On use of surrogate species in conservation biology. Conservation Biology. 13 (4): 805-814.
Dale V. H., Kline K. L., Kaffka S. R., Langeveld J. W. A.
2012. A landscape perspective
on sustainability of agricultural systems. Environmental
Sciences Division, Oak Ridge National Laboratory, Center for Bioenergy Sustainability and Climate Change
Science Institute, Oak Ridge, TN 38731, USA.
Dale, V. H., S. C. Beyeler. 2001. Challenges in the development and use of ecological indicators.
Ecological Indicators 1: 3–10
Dermawan, A., A. Rusandi., D. Sutono., Suraji., 2008. Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi
perairan mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan. Makalah Konferensi
Nasional VI di Manado.
Haryani Sri E.B., Sidqi M., Sadarun B., Nuryadi L., Sudarisman L.,
Puspitasari R., Widayati R., dan Nursalam. 2008. Konservasi Sumberdaya Ikan Di Indonesia. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Direktorat Jenderal Kelautan dan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional Laut. Kerja Sama Dengan Japan International
Cooperation agency. Cetakan Pertama ISBN 978-979-3556-64-2.
Heritage,
Cawley S., Murphy P. 2005. Ecological Surveying Techniques for Protected Flora
and Fauna during the Planning of National Road Schemes. NRA (National Roads
Authority)
Hill J. dan Wilkilson C. 2004. Methods
For Ecological Monitoring Of Coral Reefs. ISBN 0 642
322 376. Australian Institute of Marine
Science.
Kartamiharja ES., H.
Satria. 2000. Evaluasi Ekologis Suaka
Perikanan Danau Batu Bumbun di Daerah Aliran Sungai Mahakam Tengah dan
Implikasi Pengelolaannya. Jurnal Pen. Perikanan Indonesia 6 (2) : 22-23.
Li L, B Zheng, L Liu. 2010. Biomonitoring and Bioindicators Used for River Ecosystems: Definitions,
Approaches and Trends. International Society for Environmental Information
Sciences 2010 Annual Conference (ISEIS). Procedia Environmental Sciences 2:
1510–1524
Lynch M. 1996. A
quantitative-genetic perspective on conservation issues. In: Conservation Genetics; Case Histories from
Nature (eds Avise JC, Hamrick JL), pp. 471-501. Chapman & Hall,
New York.
Mikkelsen B. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan
Upaya-upaya Pemberdayaan : Sebuah Buku bagi para Praktisi
Lapangan . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Naeem S., Loreau M., Inchausti,
P. 2002b. Biodiversity and Ecosystem
functioning-Synthesis and perspectives, pp. 209-220. Oxford University
Press Inc. New York.
Nazarova LB, Semenov VF, Sabirov RM, Efimov IY. 2004. The state of benthic communities and water
quality evaluation in the Cheboksary Reservoir. Water Resources 31:316–322.
Niemi
G. J. and McDonald M. E. 2004. Application Of Ecological Indicators.
AR
REVIEWS IN ADVANCE10.1146.
Noon BR, Spies TA, Raphael MG. 1999. Conceptual basis for designing
an effectiveness monitoring program. In: Mulder BS et al. (Eds.), The Strategy
and Design of the Effectiveness Monitoring Program for the Northwest Forest
Plan. US Department of Agriculture, Forest Service, Gen. Tech. Rep.
PNW-GTR-437, Portland, OR, pp. 21–48.
Noss RF. 1999. Assessing
and monitoring forest biodiversity: a suggested framework and indicators.
Forest Ecol. Manage. 115: 135–146.
Odum EP. 1971. Fundamentals
of Ecology. W.B. Saunders Company, London-Toronto. 574 pp.
[ODNR] Ohio Department of Natural Resources. 1993. A Guide to
Volunteer Stream Quality Monitoring. Ohio: Ohio Department of Natural
Resources, Division of Natural Areas and Preserves, Scenic Rivers Section
Storfer A. 1996. Quantitative
genetics: a promising approach for the assessment of genetic diversity in
endangered spesies. Trends in Ecology and Evolution 11: 343–348.
Wilzbach M.A., Cummins
K. W. 2008. Rivers and Streams: Physical Setting and Adapted Biota.
Encyclopedia of Ecology, Pages 3095-3106. In Elsevier B.V.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar